Meski pada perkembangannya, makanan kemudian merepresentasikan banyak hal. Misalnya saja makanan bisa merepresentasikan status (misalnya untuk kalangan orang berpunya), makanan bisa merepresentasikan niat (untuk yang sedang hendak menyatakan cinta, hehehe), ataupun hal lainnya misalnya untuk niatan sosial ketika melakukan tindakan amal, dan lain-lain. Apapun itu, esensi makanan awalnya hanyalah untuk memenuhi kebutuhan perut manusia, obat lapar!
Ada beberapa orang yang kurang menyukai makanan cepat saji, dan ataupun makanan lainnya yang menurut saya sangat 'artificial' dan rasanya juga asing di lidah. Jadi meskipun makanan tersebut mahal dan dibuat dari bahan yang juga mahal, disajikan di restoran kaliber dunia pun, bagi say alebih berkesan ketika memakan pete bakar dan sambal ditambah ikan asin bersama keluarga, atapun teman yang menemani. Well, what can I say, saya hanyalah orang desa yang lidahnya sudah seperti ini sejak saya lahir. Praktis saya juga tertarik setengah mati dengan cara memasak tradisional, tidak hanya ditempat saya tinggal adapun itu oleh masyarakat suku-suku di pedalaman dipelosok Indonesia, karena menurut saya ini sangat dekat dengan kehidupan saya dahulu dan mungkin juga kini.
sumber: michaelrisdianto.blogspot.co.id |
Penggunaan bambu untuk memasak sayuran, udang dan ikan kecil masih bisa dijumpai di Suku Wana di Pegunungan Tokala. Bambu menurut penuturan masyarakat ini, dapat menjaga rasa makanan agar tetap asli atau alami, sehingga lebih nikmat disantap.
Baca Juga: Makanan Unik Khas Maluku Dan PapuaYang menarik dan unik di masyarakat Suku Wana ketika mereka memasak makanan yang disebut lumpi (sejenis lemang dari beras) dimasak di dalam bambu dengan cara dibakar tanpa bumbu apapun. Begitu juga sayuran yang dimasukkan bambu sebagai tutup 'mulut' bambu yang dijadikan memasak lumpi. Keduanya dimasak begitu saja tanpa tambahan bumbu apapun, air juga tidak ditambahkan karena menggunakan bambu yang cukup muda. Air dari serat bambu inilah yang akan mematangkan bahan yang dimasukkan ke dalam bambu akibat panas terkena api pembakaran. Bumbu semisal garam dan bumbu lainnya rupanya kurang diminati oleh orang Wana karena konon merusak rasa asli olahan. Di sisi lain hal ini menghasilkan makanan yang super sehat, meski di sisi lain rasanya sangat tawar!
Memasak dengan media kulit kayu juga terdapat di sekitar Sungai Segun, yang merupakan kawasan 'milik' Suku Moi di Papua Barat.
Berikutnya juga di Pegunungan Tokala yaitu Suku Wana. Keduanya memilih kulit kayu yang tawar atau tidak berasa, ini adalah patokan baku dalam memilih kulit kayu yang akan dijadikan media memasak. Karena menurut mereka, kulit kayu (jenis apapun) yang tawar berarti tidak mengandung racun serta getah di kulit kayu tersebut tidak akan merusak rasa olahan. Perlakuan terhadap kulit kayu sebelum dipakai memasak hampir sama, yakni dijemur sebentar agar agak kering atau kesat. Yang berbeda, jika Suku Moi begitu menyukai bumbu-bumbu, orang Wana tidak menyukai bumbu apapun untuk ditambahkan ke bahan yang dimasak dengan kulit bambu.