Monday, June 20, 2016

Perbedaan Kenekes dan Panamping "Baduy"

Perbedaan Baduy Dalam dan Baduy Luar - Sebagai negara yang kaya akan seni dan budaya, Indonesia dihuni berbagai macam suku yang menetap di segala pelosok nusantara. Kearifan lokal serta adat istiadatnya menjaga kelestarian alam Indonesia hingga mampu terjaga dengan baik dan bersinergi dengan alam. Nama Baduy terlesip diantara banyaknya suku yang ada di Indonesia. Kelompok etnis Sunda ini hidup bersama alam di Pegunungan Kendeng, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten.

Provinsi Banten terkenal dengan banyaknya objek wisata. Mulai dari wisata alam hingga wisata religi ada di provinsi ini. Berbicara tentang kekayaan budaya, provinsi ini pun tidak kalah kekayaan budayanya. Mungkin anda sering mendengar suku Baduy. Sebuah suku yang hidup di pedalaman Banten.

Urang Kanekes, Orang Kanekes atau orang Baduy/Badui adalah suatu kelompok masyarakat adat sub-etnis Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Populasi mereka sekitar 5.000 hingga 8.000 orang, dan mereka merupakan salah satu suku yang menerapkan isolasi dari dunia luar. Selain itu mereka juga memiliki keyakinan tabu untuk difoto, khususnya penduduk wilayah Baduy dalam.

1. Kanekes

Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Kanekes Dalam (Baduy Dalam), yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga kampung: Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik. Ciri khas Orang Kanekes Dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua (warna tarum) serta memakai ikat kepala putih. Mereka dilarang secara adat untuk bertemu dengan orang asing.

Kanekes Dalam adalah bagian dari keseluruhan orang Kanekes. Tidak seperti Kanekes Luar, warga Kanekes Dalam masih memegang teguh adat-istiadat nenek moyang mereka.

Sebagian peraturan yang dianut oleh suku Kanekes Dalam antara lain:

  • Tidak diperkenankan menggunakan kendaraan untuk sarana transportasi
  • Tidak diperkenankan menggunakan alas kaki
  • Menggunakan kain berwarna hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun dan dijahit sendiri serta tidak diperbolehkan menggunakan pakaian modern.
Ciri khas Orang Kanekes Dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua (warna tarum) serta memakai ikat kepala putih. Mereka dilarang secara adat untuk bertemu dengan orang asing.
  • Pintu rumah harus menghadap ke utara/selatan (kecuali rumah sang Pu'un atau ketua adat)
  • Larangan menggunakan alat elektronik (teknologi) 

2. Panamping 


Kelompok masyarakat kedua yang disebut panamping adalah mereka yang dikenal sebagai Kanekes Luar (Baduy Luar), yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Kanekes Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Masyarakat Kanekes Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna biru gelap (warna tarum). Kanekes Luar merupakan orang-orang yang telah keluar dari adat dan wilayah Kanekes Dalam. 

Ada beberapa hal yang menyebabkan dikeluarkannya warga Kanekes Dalam ke Kanekes Luar:

  • Mereka telah melanggar adat masyarakat Kanekes Dalam.
  • Berkeinginan untuk keluar dari Kanekes Dalam
  • Menikah dengan anggota Kanekes Luar

Ciri-ciri masyarakat orang Kanekes Luar : 

  • Mereka telah mengenal teknologi, seperti peralatan elektronik
  • Proses pembangunan rumah penduduk Kanekes Luar telah menggunakan alat-alat bantu, seperti gergaji, palu, paku, dll, yang sebelumnya dilarang oleh adat Kanekes Dalam.
  • Menggunakan pakaian adat dengan warna hitam atau biru tua (untuk laki-laki), yang menandakan bahwa mereka tidak suci. Kadang menggunakan pakaian modern seperti kaos oblong dan celana jeans.
  • Menggunakan peralatan rumah tangga modern, seperti kasur, bantal, piring & gelas kaca & plastik.
  • Mereka tinggal di luar wilayah Kanekes Dalam.
  • Sebagian di antara mereka telah terpengaruh dan berpindah agama menjadi seorang muslim dalam jumlah cukup signifikan.

Apabila Kanekes Dalam dan Kanekes Luar tinggal di wilayah Kanekes, maka "Kanekes Dangka" tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar.

Bahasa Suku Baduy

Suku baduy menggunakan bahasa dialek sunda-banten untuk berkomunikasi dengan masyarakat sekitar. Masyarakat suku baduy menegerti bahasa indonesia walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Karena masyarakat baduy tidak mengenal sekolah sehingga mereka tidak menegenal budaya tulis. Usaha pemerintah untuk membangun fasilitas sekolah di wilayah tersebut ditolak keras. Menurut mereka pendidikan sanagat berlawanan dengan adat istiadat mereka.

Kepercayaan Suku Baduy

Kepercayaan suku baduy adalah sunda wiwitan yang berakar dari pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang dipengaruhi juga oleh agama Budha dan Hindu. Kepercayaan tersebut ditujukkan dengan adanya “pikukuh” atau adat mtlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari. Isi terpenting dari “pikukuh” yaitu konsep “tanpa ada perubahan apa pun “ :
Lojor henteu beunang dipotong, pendek henteu beunang disambung
( panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung)

Dalam konsep pikukuh tersebut diterapkan oleh suku baduy pada bidang pertanian dengan tidak mengubah bentuk kontur ladang. Dan tidak mengolah lahan dengan cara dibajak atau di terasering. Masyarakat baduy hanya menanam tugal atau bvambu yang diruncingkan. Pada kontur pembangunan rumah permukaan tanah dibiarkan tidak merata apa adanya sehingga banyak rumah suku baduy yang tidak sama panjang. Objek kepercayaan masyarakat suku baduy yang terpenting adalah arca domas.




Referensi :
http://www.bantenwisata.com/
http://www.alambudaya.com/

Author: